Boneka: Simbol Kejujuran nan Bersahaja
Boneka-boneka dari bahan daur ulang itu tersebar di beberapa titik dalam ruangan berlangit-langit tinggi. Gedung yang biasa disebut studio ini lah yang menjadi ajang pertemuan para pembuat serta pemain boneka Papermoon Puppet. Lokasinya yang tenang di kawasan Bangunjiwo, Bantul ini jelas sangat sesuai untuk menelurkan karya-karya dan kisah baru yang akan ditampilkan.
Maria Tri Sulistyani adalah inisiator dari Papermoon Puppet. Bersama suaminya, Iwan Effendi yang menjadi Artistic Director, perempuan yang juga akrab Ria ini sudah melanglang buana sembari membawa hasil karyanya yang unik tersebut. Papermoon yang memiliki harfiah “Bulan Kertas” memiliki filosofinya sendiri, di mana sesuatu yang istimewa bisa berasal dari hal yang sederhana, bagai membuat bulan hanya dari selembar kertas.
“Buatlah bulanmu sendiri, buatlah mimpimu, sebesar mungkin. Itu yang jadi filosofis awal dari kata papermoon itu sendiri,” jelas Ria.
Sedari kecil, Ria sangat menyenangi dunia anak-anak. Statusnya sebagai anak terakhir dalam keluarga justru membuatnya merindukan sosok adik. Ditambah lagi, ia sangat senang membaca, terutama buku-buku cerita anak. Tak heran, ia memiliki begitu banyak buku cerita anak yang berasal dari berbagai negara dan kebudayaan yang berbeda. Kegemarannya pun terus melekat hingga berkembang menjadi profesi; ia menjadi ilustrator dan penulis cerita anak-anak. Ria juga memiliki ketertarikan besar terhadap bidang seni rupa dan seni pertunjukan.
Berawal pada tahun 2006, dengan bermodalkan dua kamar kos sewaan, ia membuka sebuah perpustakaan mini. Ia ingin anak-anak datang untuk membaca sekaligus belajar berkreasi. Selain itu, ia ingin agar anak-anak mampu dan percaya diri untuk mengembangkan bakat serta imajinasinya sendiri. Tepat tanggal 2 April tahun itu, Ria pun menggelar pertunjukan boneka pertamanya. Hanya berasal dari bahan-bahan yang sederhana dan berupa boneka tangan, namun show tersebut mampu menarik perhatian orang-orang sekitarnya.
“Bonekanya pakai selimut bekas yang dijahit, pakai botol plastik. Jadi memang menggunakan bahan-bahan sampah, sekaligus recycling,” kenang Ria.
Ketika peristiwa gempa besar pada Mei 2007 terjadi di Yogyakarta, Ria ikut tergerak untuk membantu dalam bentuk tenaga. Ia prihatin dengan kondisi anak-anak yang tidak bisa beraktivitas karena sekolah rata dengan tanah, begitu juga orang tua mereka yang tertekan akibat kehilangan tempat tinggal. Maka bersama para relawan, ia berkeliling desa-desa yang terkena dampak parah, mendampingi anak-anak yang menjadi korban. Meskipun sempat dilirik NGO, Ria merasa bahwa bukan hal tersebut yang diinginkan. Konsep Papermoon yang ia inginkan adalah seni pertunjukan, jelas berbeda dengan yang ada dalam sebuah NGO.
Setelah berdiskusi dengan Iwan, Ria akhirnya kembali pada jalur pertunjukan teater boneka. Pada tahun 2008, setelah mengikuti workshop dan menyaksikan pertunjukan boneka oleh delegasi Jerman di Jakarta, ia pun memutuskan membuat pertunjukan bonekanya untuk dinikmati oleh dua kategori; dewasa dan segala usia. Inilah, menurutnya, yang menjadi titik balik terbesar dan identitas dari Papermoon Puppet serta dijalankan hingga kini.
Ide cerita diperoleh bukan dengan menyadur kisah-kisah dari buku, namun dibuat oleh Ria sendiri secara otodidak. Beruntung, profesinya sebagai penulis cerita anak-anak memudahkannya untuk menyusun skenario pertunjukan. Cerita pertunjukan juga berasal dari kisah-kisah serta peristiwa yang pernah dialami orang-orang sekitarnya.
“I love people’s stories, bahkan kisah siapa pun yang ada di bumi ini. Kami juga merasa, jika ingin membuat suatu pentas, pesannya harus bisa diterima penonton. Harus ada koneksi personalnya,” jelas Ibu dengan satu anak ini.
Secangkir Kopi dari Playa bisa menjadi contoh, yang mengisahkan tentang romantisme di balik tragedi 1965. Seseorang yang dikirim ke luar negeri, namun kemudian terpaksa kehilangan kewarganegaraannya dan dianggap berhaluan kiri. Kepada kekasihnya, ia sudah berjanji akan menikahinya begitu pulang. Janji yang terus ia pegang sampai saat ini, walau ia tak pernah bisa kembali. Sementara sang kekasih telah menikah dengan orang lain. Kisah yang menyayat hati ini rupanya berasal dari kisah nyata, hasil penelusuran yang dilakukan Ria bersama teman-temannya.
Drama ini juga lah yang mempertemukan Ria dengan produksi film Ada Apa Dengan Cinta 2? yang fenomenal. Nicolas Saputra yang sudah menyaksikan pertunjukan Papermoon sebelumnya, meyakinkan Riri Riza dan Mira Lesmana untuk melibatkan Ria, ditambah film ini memang ber-setting di Yogyakarta. Maka Secangkir Kopi dari Playa pun menjadi salah satu adegan, yang akhirnya turut menaikkan pamor Papermoon Puppet. Sayangnya, Ria tidak berkesempatan untuk ikut kegiatan syuting.
“Aku dan Iwan saat itu sedang berada di Amerika, jadi kita mengarahkan para pemain bonekanya via pesan singkat,” kata Ria sambil tertawa.
Jika pertunjukan teater menampilkan dialog antar pemain, tidak dengan Papermoon Puppet. Pertunjukannya nihil kata, hanya menampilkan gestur. Menariknya, penonton tetap bisa merasakan emosi dan tetap terhanyut dengan ceritanya. Boneka sendiri menurutnya sudah menjadi pernyataan yang sangat jelas dan apa adanya, sehingga tidak memerlukan dialog. Para pemainnya pun dituntut untuk tidak egois serta bersedia untuk mengikuti “kemauan” bonekanya.
Boneka memang identik dengan anak-anak, namun Ria juga ingin orang dewasa juga merasakan sisi magis dari boneka. Orang dewasa memerlukan refleksi diri untuk bisa percaya dan boneka jadi salah satu perantaranya. Meskipun demikian, sebagai pecinta anak-anak, Ria tetap menganggap mereka makhluk paling istimewa dan paling kaya di bumi.
“Mereka itu makhluk yang restless, bisa menciptakan laboratorium sendiri, dengan eksplorasi tanpa batas. Berbeda dengan orang dewasa yang terikat banyak aturan,” ungkap Ria, berkaca pada pengalamannya sebagai seorang Ibu.
Karyanya yang unik ini membuatnya banjir pujian dari media dan publik dari berbagai negara. Namun Ria menganggap pujian tersebut sebagai cambuk agar terus mampu menunjukkan yang terbaik. Terus berkreasi, sabar, serta menjaga kehidupan agar tetap seimbang adalah kunci yang ia pegang dalam menjalankan Papermoon Puppet. Ia pun memilih untuk tidak tampil terus-terusan agar memiliki ruang dan waktu untuk bisa menciptakan karya dan kisah baru yang lebih segar.
“Pujian itu kadang-kadang membuat kita terlena, jadi harus hati-hati dengan itu,” tutup Ria.
***
Teks oleh Alexander A. Ermando
(Disunting oleh Tiara Mahardika)
Foto oleh Nae Fukata & Witjak Widhi Cahya