Teks oleh Alexander A. Ermando
“Minggu depan saya akan meresmikan satu gerai di Jakarta,” demikian ungkap Phillip Iswardono ketika ditemui di kediamannya pada 6 Desember lalu. Selain membuka butik baru, Phillip juga disibukkan dengan merancang berbagai desain pakaian terbaru. Menurutnya, ini karena tuntutan kliennya yang menginginkan inovasi dan kreativitas secara simultan.
Phillip Iswardono bukanlah nama yang asing. Ia merupakan fashion designer yang cukup dikenal dengan karya-karyanya yang signifikan. Salah satu anggota dari Indonesian Fashion Chamber ini berfokus pada kain tenun lurik dalam bentuk sarung, yang ia padu-padankan dengan berbagai motif dari berbagai daerah di Nusantara. Busana hasil karyanya pun bersifat ready to wear, sehingga pelanggannya cukup datang dan tinggal memilih busana yang diinginkannya.
Seluruh proses desain hingga hasil pakaian jadi ia pantau dengan cermat. Kediamannya di kawasan Bantul, Yogyakarta pun dijadikan butik sekaligus workshop untuk menampilkan bagaimana proses pembuatan busana karyanya. Beberapa warga setempat pun dijadikannya karyawan untuk membantu proses tersebut.
“Kalau kain lurik sendiri saya mengambil dari penenunnya langsung,” tambah Phillip.
Ciri khas busana karya Phillip adalah bentuknya yang berupa sarung. Menurutnya, sarung sudah menjadi bagian sehari-hari dari masyarakat, bahkan sebelum era kemerdekaan. Selain untuk kegiatan sehari-hari, sarung juga menjadi bagian dari berbagai upacara adat. Sarung mulai tergerus lantaran setelah kemerdekaan, busana gaya Barat mulai mewabah dengan jas dan dasinya. Phillip bermaksud membangkitkan kembali budaya sarung ini ke masyarakat namun dengan gaya yang lebih kekinian dan urban. Ia pun mengkreasikan sarung dari tenun bermotif lurik yang sangat khas Jawa. Lurik sendiri ternyata memiliki beragam warna dan motif, meskipun tampaknya hanya berupa garis-garis biasa.
“Jenis-jenis lurik itu bermacam-macam berdasarkan warna dan tebal-tipis garisnya. Lurik sendiri artinya stripes dalam bahasa Inggris,” jelas desainer yang baru saja kembali dari Bangkok dalam rangka mempromosikan karya busananya.
Sarung dan lurik inilah “senjata” Phillip yang, selain menjadi identitas karyanya, juga menjadi media promosi untuk mengenalkan kebudayaan Nusantara kepada publik. Perjalanannya ke luar negeri pun selalu melibatkan sarung yang dibuatnya dalam berbagai motif. Menurutnya, industri fesyen dalam negeri sudah terlalu lama hanya mengeksplor dan mengekspose batik sebagai identitas budaya. Apalagi batik itu lebih tentang teknik dan motif. Phillip beranggapan, sudah waktunya kain tenun dan sarung mendapat giliran untuk mendunia.
Beberapa waktu lalu, Phillip menggelar show tunggal pertamanya di Yogyakarta dengan tema Ethnic Code. Sekitar 94 outfit ia tampilkan dengan bahan dasar berupa lurik dan kain tenun nusantara, seperti tenun dari Flores. Lewat show ini, Phillip ingin membuka mata publik bahwa kain tenun yang tampaknya biasa saja bisa menjadi gaya busana yang unik dan berbeda.
“Keunikan kain nusantara tidak sekedar motif dan warna, tetapi lebih dari itu, seperti filosofinya apa, latar belakangnya apa, hingga siapa yang membuat,” jelas Phillip.
Sarung buatannya pun menuai respon yang cukup positif dari publik, baik dari dalam maupun luar negeri. Meski demikian, Phillip mengakui jika kain tenun belum lah sepopuler batik yang bahkan sudah mendapat pengakuan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. Meskipun demikian, Phillip yakin jika tenun Nusantara mampu bersanding dengan batik. Publik perlu tahu tentang seluk-beluk kain tenun itu sendiri atau yang biasa disebut dengan product knowledge-nya. Terlebih lagi, para desainer yang berkecimpung di dunia fesyen. Hal yang tak kalah penting adalah promosi yang intensif hingga kain tenun bisa dikenal secara luas.
Konsistensi dalam berkarya dengan busana dan motif tradisional tidak membuat Phillip khawatir akan tenggelam oleh tren. Ia percaya jika ciri khas dalam karyanya dapat berjalan beriringan dengan berbagai tren fesyen. Kuncinya adalah mampu menyikapinya berdasarkan wawasan yang luas serta memanfaatkan materi yang ada secara maksimal. Selain itu, ia juga harus peka terhadap kebutuhan para klien, mengingat fokusnya adalah produk siap pakai. Selebihnya, cukup mengolaborasikan karyanya dengan berbagai bentuk dan motif.
“Ciri khas atau signature membutuhkan proses yang lama untuk terbentuk. Jadi jangan sampai hilang,” ujar Phillip.
Kepiawaiannya dalam mendesain pakaian hingga mampu memiliki ciri khas sendiri dalam busananya ternyata dihasilkan dari pengalaman hidupnya. Phillip menyatakan bahwa ia belajar bidang fesyen secara otodidak. Ibunya terbiasa menjahit dan membuat baju-bajunya sendiri. Begitu juga dengan kakaknya. Pendidikan fesyen era itu sangat minim, mengingat profesi fashion designer bukan pilihan populer.
“Berbeda dengan saat ini di mana industri fesyen dalam negeri sudah sangat diperhitungkan, bahkan menjadi salah satu prioritas utama pemerintah,” ungkap pria asli Yogyakarta ini.
Berbicara tentang harapan dan proyeknya di tahun 2017, Phillip berkeinginan untuk mengembangkan bisnis busananya lebih luas lagi. Selain itu, ia ingin membuka workshop tenun di kediamannya yang bisa melibatkan masyarakat.
“Memang harus butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit, tapi itu goal yang saya ingin wujudkan di tahun depan,” kata Phillip.