RUANG TANPA BATAS
Teks dan foto oleh Alexander A. Ermando
Sore itu sedang berlangsung gladi bersih di panggung utara Solo International Performance Arts (SIPA) 2016, Benteng Vastenburg, Surakarta. Seorang pria berusia lebih dari setengah abad duduk di muka panggung, lalu mengeluarkan berbagai alat musik. Bersama kelompok musiknya, ia mulai memainkan seruling. Tak lama kemudian beralih ke gamelan, bermain dengan seorang rekannya. Sesekali beliau mengeluarkan suaranya, berduet dengan seorang wanita di samping kirinya.
Pria tersebut adalah Djaduk Ferianto, seorang seniman asli Yogyakarta. Putra bungsu dari seniman sekaligus budayawan ternama, Almarhum Bagong Kussudiardja. Tak dapat ia pungkiri, profil Ayahnya begitu berpengaruh dalam pilihannya menjadi seniman. Hal tersebut juga diperkuat dengan lingkungannya yang begitu kuat dengan seni tradisional.
“Bapak saya jelas punya pengaruh, begitu juga lingkungan saya. Kalau dulu Bapak saya usaha bengkel, ya tentu saja saya juga akan buka bengkel,” ungkap Djaduk di sela-sela kegiatan gladi bersihnya.
Bersama dengan Kua Etnika, kelompok musiknya, Djaduk Ferianto telah melanglang buana. Namanya telah dikenal oleh publik di Jerman, Denmark, Swedia, Belanda, dan Turki. Djaduk dan Kua Etnika mengutamakan musik tradisional yang dikolaborasikan dengan berbagai instrumen musik modern. Tak hanya itu, mereka juga membuat berbagai komposisi musik original yang unik, karena pertemuan dua genre musik yang berbeda kebudayaan tersebut. Alhasil, penikmat musik mancanegara terkagum-kagum dengan penampilan mereka.
Walau menerima banyak pujian serta sering diundang dalam festival-festival musik, Djaduk Ferianto tetap membumi. Segala respon dan apresiasi tersebut dianggapnya sebagai bukti kerja keras. Justru ia bersyukur karena dibesarkan di lingkungan yang mengedepankan seni musik tradisional.
“Saya terlahir bukan sebagai kaum metropolis, tapi dari pedesaan. Jadi itulah yang kami punya,” kata Djaduk merendah.
Kesenangannya terhadap musik tidak terbatas pada genre tertentu. Djaduk belajar musik secara otodidak, dari teman-teman bahkan sesama anggota dari Kua Etnika. Ia juga memperdalam kemampuan bermusiknya hingga Jepang dan Amerika Serikat. Kepiawaiannya di bidang musik kemudian disalurkannya dengan membuat musik latar di berbagai produksi film, sinetron, jingle iklan, dan teater. Namun untuk alat musik, rupanya ada satu instrumen yang belum bisa dimainkan oleh Djaduk Ferianto hingga saat ini.
“Saya belum bisa memainkan gitar sampai sekarang,” jelasnya sambil tertawa.
Selain di bidang musik, Djaduk Ferianto menggeluti bidang seni peran. Ia merupakan anggota dari kelompok seni Teater Gandrik bersama kakaknya, Butet Kartaredjasa. Selain sebagai aktor, ia juga menjadi sutradara beberapa pertunjukan teater. Petualangan Sherina (2000) menjadi debutnya sebagai seorang aktor di film. Bisa dikatakan film ini semakin membesarkan namanya, mengingat film garapan Riri Riza ini memperoleh animo tinggi dari publik.
Bagi Djaduk Ferianto, musik, teater, dan film memiliki arti tersendiri. Setiap bidangnya memiliki medium serta suasana yang berbeda. Bahkan ketika harus memilih antara teater atau film, Djaduk tetap memilih keduanya.
“Saya tidak membatasi ruang, apa yang ada ya dikerjakan. Sambil tetap terus belajar,” jelas Djaduk secara lugas.
Terhadap seni musik tradisional di Indonesia, ia menyayangkan masih banyak pihak yang menganggap genre musik ini berada di kelas yang berbeda dengan musik pop. Menurutnya, ini terjadi karena adanya arogansi dari kultur pop. Baginya, musik tradisional jelas punya kemampuan untuk bersanding dengan musik pop. Hal ini juga berlaku untuk seni budaya lokal di Nusantara. Tak heran jika Djaduk menyimpan harapan terhadap perkembangan seni budaya lokal.
“Ruang yang ada harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berekspresi. Ini adalah kesempatan bagi kaum muda saat ini. Jangan ditinggal,” kata Djaduk.
Pengalaman bermusik sudah menggunung, begitu juga dengan sederet prestasi dan apresiasi dari berbagai pihak. Apakah seorang Djaduk Ferianto tertarik membuka sekolah seni atau mengajar ilmu seni? Sambil tersenyum, Djaduk menjawab singkat, “Saya tidak punya bakat jadi guru. Saya bisanya jadi murid, maka belajar terus.”